Sabtu, 23 April 2011

SUPLEMEN BISA BIKIN PANIK???




Jika ingin menggunakan makanan suplemen seperti vitamin, jamu, dan sejenisnya sebagai pengobatan alternatif atau komplementer, lebih dulu Anda perlu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat. Jangan begitu saja percaya kepada iklan, kata-kata penjual, “kata orang”, atau keterangan pada label/kemasan. Kumpulkan dulu berbagai informasi terpercaya tentang penggunaan makanan suplemen yang Anda inginkan, termasuk produk-produk dari produsen mana yang berkualitas.
Seperti halnya obat-obatan, makanan suplemen mempunyai efek samping dan resiko, dan hanya bisa digunakan secara aman pada takaran tertentu. Tidak seperti obat-obatan yang sudah melalui uji laboratorium ketat, produsen makanan suplemen biasanya membuat aturan pakai sendiri dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa pengawasan medis. Kemungkinan ada banyak informasi menyesatkan di sana, misal khasiat yang digembar-gemborkan, tentang dosis yang aman, atau potensi bahaya yang tidak diungkapkan.
Menurut catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (The US Food and Drug Administration), pada tahun 2003 terdapat hampir 62.000 laporan keracunan makanan suplemen, 1.000 kasus di antaranya cukup parah, dan mengakibatkan kematian 7 orang. Ironisnya, hampir 2.500 kasus malah menunjukkan munculnya efek yang berlawanan dari khasiat yang diiklankan.
Itu semua belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan, atau kasus mengkonsumsi makanan suplemen tanpa hasil apa pun. Pada penderita kanker yang umumnya menggunakan berbagai macam obat, mengkonsumsi makanan suplemen secara sembarangan bisa sangat berbahaya.

Misalnya, beberapa jenis makanan suplemen menyebabkan kulit menjadi sensitif, yang semakin parah jika dikonsumsi saat menjalani terapi radiasi. Begitu juga penderita yang menjalani kemoterapi beresiko terhadap reaksi interaksi obat. Dalam keadaan demikian, berkonsultasi dengan dokter adalah sebuah keharusan.

Perlu diingat bahwa informasi mengenai makanan suplemen sering hanya berasal dari pengalaman atau pendapat pribadi seseorang, bukan dari penelitian ilmiah yang obyektif.

Sebaiknya berhati-hati terhadap promosi yang terlalu gencar, yang memanfaatkan testimoni dari 1-2 orang atau “bukti ilmiah” yang tidak jelas asal-usulnya. Karena peribahasa “air beriak tanda tak dalam” berlaku juga di sini. Semakin heboh promosinya, semakin patut diragukan kebenarannya. Yah... namanya penjual, mana ada sih yang tidak memuji-muji barang dagangannya?

Tetapi tidak semuanya negatif. Tidak sedikit makanan suplemen kesehatan atau pengobatan alternatif yang memberikan hasil positif. Hanya susahnya, kadang dokter enggan dimintai pendapat tentang masalah makanan suplemen atau pengobatan alternatif. Sering jawaban yang diberikan hanya, “Maaf, saya tidak mengerti tentang hal itu.”

Jangan menyerah! Kumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang makanan suplemen yang ingin Anda gunakan, tentang zat-zat yang terkandung di dalamnya, tentang manfaat yang dipromosikan untuk masing-masing zat itu. Dari situ mungkin dokter yang merawat Anda mau diajak berdiskusi secara terbuka tentang plus-minus penggunaan suplemen tersebut, kemudian bisa disimpulkan mungkinkah suplemen tersebut digunakan sebagai terapi tambahan.

Sementara itu, sebagai patokan umum Anda harus mewaspadai beberapa salah kaprah yang sering ditiup-tiupkan para produsen makanan suplemen:
Megadosis: Lebih Banyak Lebih Baik?
Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa vitamin dan mineral adalah zat-zat yang menyehatkan tubuh, bisa melawan penyakit, berfungsi sebagai antioksidan, yang tentunya makin banyak dikonsumsi akan makin baik. Para produsen makanan suplemen dengan cerdik memanfaatkan salah kaprah ini dengan memproduksi berbagai macam vitamin dan mineral dosis tinggi, kemudian mempromosikannya secara kurang proporsional.

Vitamin C misalnya. Kebutuhan manusia dewasa akan vitamin C sebenarnya hanya 50-60 mg/hari, yang bisa tercukupi dari konsumsi rutin buah-buahan. Tetapi di pasaran sering kita jumpai suplemen vitamin C dalam dosis 500 mg bahkan 1.000 mg, yang dipromosikan bisa meningkatkan daya tahan tubuh, menyembuhkan penyakit, sebagai antioksidan pengikat radikal bebas, dsb. Kita sendiri setelah hadirnya suplemen vitamin C megadosis itu menjadi tidak “pede” untuk merasa cukup dengan hanya mengkonsumsi buah, atau mengkonsumsi vitamin C dosis 50 mg. Padahal dosis setinggi itu hanya dibutuhkan pada kondisi tubuh tertentu, atas saran dokter tentunya.

Kalaupun menyadari bahwa dosis 500-1.000 mg itu berlebihan, kita masih juga melakukan pembenaran, “Ah tidak apa-apa, kelebihannya toh dibuang tubuh bersama air seni.” Tetapi sadarkah kita, bahwa dengan begitu kita membebani organ tubuh dengan tugas ekstra untuk mencerna, mengolah, menyerap, kemudian membuang kelebihan vitamin C itu?

Kenyataan yang tidak pernah diungkapkan adalah, terlalu banyak vitamin C akan mengganggu penyerapan copper (tembaga), logam yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil tetapi penting untuk mengatur susunan kimia dan kinerja tubuh.

Juga, para produsen makanan suplemen tidak pernah mencantumkan peringatan bahwa terlalu banyak fosfor akan menghambat penyerapan kalsium. Atau mencantumkan peringatan bahwa kelebihan vitamin A, D, K, dan zat besi tidak dibuang oleh tubuh tetapi dibiarkan menumpuk dan akhirnya meracuni tubuh. Nah, kan? Padahal daftar fakta-fakta negatif ini masih bisa diperpanjang lagi!
Resiko Interaksi Obat
Banyak orang beranggapan bahwa makanan suplemen aman-aman saja dikonsumsi bersamaan dengan obat-obat medis (dari dokter), bahkan bisa mendukung pengobatan. Sayangnya ini tidak selalu benar. Kandungan aktif suplemen buatan maupun suplemen alami ada yang meningkatkan daya serap tubuh terhadap obat-obat tertentu, tetapi tidak sedikit juga yang menghambat, atau bahkan membuangnya. Bahayanya adalah, kandungan obat tersebut dalam darah menjadi terlalu tinggi (overdosis/keracunan) atau terlalu rendah (tidak efektif untuk pengobatan).

Kebanyakan produsen makanan suplemen –termasuk jamu– kurang dalam meneliti resiko interaksi obat semacam ini, sehingga reaksi interaksi produk yang dibuatnya dengan obat-obat lain –termasuk potensi bahayanya– tidak banyak diketahui. Yang dapat Anda lakukan adalah mencari tahu apa saja kandungan makanan suplemen yang hendak Anda konsumsi, kemudian konsultasikanlah pada dokter mengenai kemungkinan reaksinya dengan obat kanker Anda.
Obat Alami Aman Dan Lebih Baik?
Benarkah obat alami itu aman? Lebih baik dari obat kimia buatan pabrik? Belum tentu! Anda mungkin pernah mendengar bahwa mahkota dewa yang sering dipromosikan sebagai obat antikanker itu sebetulnya sangat beracun. Begitu juga temulawak yang telah menjadi minuman sehari-hari. Atau produk-produk hewani. Apa pendapat Anda tentang empedu ular kobra yang dikatakan dapat mengobati berbagai macam penyakit?

Ekstrak bawang putih, jahe, ginseng, ginko biloba, echinacea, dan sebagainya sering dipasarkan sebagai obat alami yang aman karena 100% murni terbuat dari tanaman. Tetapi produk tanaman itu terdiri atas beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu zat aktif. Sebagian mungkin berkhasiat obat, tetapi sebagian yang lain bisa saja beracun, atau memberikan efek buruk lainnya bagi tubuh. Buah, daun, bunga, biji, atau akarnya kadang memberikan efek yang berbeda-beda, bahkan berlawanan. Perlu pengetahuan khusus, penanganan khusus, dan takaran yang tepat agar dapat mengkonsumsi obat alami secara aman.

Dalam hal-hal tertentu obat kimia buatan pabrik atau produk tanaman yang mengalami rekayasa di pabrik mungkin lebih baik. Setidaknya zat-zat yang berpotensi meracuni atau membahayakan, atau tidak bermanfaat, bisa dihilangkan. Tetapi itu pun belum tentu, karena pemrosesan dalam pabrik kadang ikut menghilangkan zat-zat tertentu yang berfungsi sebagai penawar efek samping.
FDA Approved
Strategi promosi ini sering digunakan perusahaan-perusahaan besar yang telah memasarkan produknya ke seluruh dunia, khususnya Amerika Serikat. Seperti diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (The US Food and Drug Administration, FDA) menerapkan aturan yang ketat bagi obat-obatan yang akan dipasarkan di negaranya. Setiap produk obat baru dinyatakan “tidak aman” dan tidak diijinkan beredar sebelum melalui serangkaian uji klinis yang mampu menunjukkan hasil nyata bahwa obat tersebut benar-benar aman dan ampuh untuk khasiat yang diklaimnya.

Setelah disetujui (approved) untuk beredar, produksi obat tersebut dilakukan di bawah pengawasan ketat, harus dikemas dengan informasi lengkap mengenai dosis, aturan pakai, efek samping, kontra indikasi, termasuk juga kemungkinan interaksi dengan obat lain. Para dokter pun diminta untuk mengawasi dan melaporkan kalau-kalau muncul efek samping lain dari obat tersebut.

Ini berlawanan dengan prosedur persetujuan untuk makanan suplemen. Karena dianggap sekedar makanan, produk tersebut dianggap aman sampai terbukti ke-tidak aman-annya (sudah menimbulkan korban). Syarat keamanannya hanya ”tidak memiliki kandungan yang menimbulkan resiko sakit atau luka serius” jika dikonsumsi dalam kondisi normal. Tidak ada syarat uji klinis apa pun untuk menemukan efek samping atau efek interaksi dengan obat/suplemen lain.

Tidak ada mekanisme kontrol untuk memantau efek samping atau reaksi yang tidak dikehendaki. Karena itu, andai pun suatu makanan suplemen memiliki efek samping atau menimbulkan efek samping saat berinteraksi dengan obat, makanan, atau suplemen lain, apalagi kalau sifatnya kronis, hal itu tidak mudah diketahui. Dengan kata lain, “FDA approved” untuk makanan suplemen praktis tidak berarti apa-apa.

http://rumahkanker.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=35